Diksi.Net, Palu – Penyakit Demam keong atau Schistosomiasis dalam beberapa bulan belakangan mengalami jumlah peningkatan kasus di Dua Kabupaten. Schistosomiasis, atau bilharziasis adalah sebuah penyakit yang disebabkan infeksi cacing parasit yang hidup di air pada daerah subtropis dan tropis.
Schistosoma japonicum atau disebut cacing schisto, termasuk endemik dan hanya dapat ditemukan di dataran tinggi Lindu dan Napu, Sulawesi Tengah. Menurut data World Health Organization (WHO), saat ini Indonesia menjadi satu-satunya negara ASEAN yang terdeteksi penyakit Schistosomiasis.
Ketika telah terpapar penderita akan mengalami gejala keracunan, disentri, penurunan berat badan sehingga mengakibatkan kurus yang berlebihan, dan dapat terjadi pembengkakan hati yang bisa diakhiri dengan kematian.
Tidak seperti proses cacingan pada umumnya, cacing ini masuk ke tubuh manusia bukan dari mulut, tapi langsung menembus pori-pori kulit menuju aliran darah dan bergerak menuju jantung dan paru-paru untuk selanjutnya menuju hati.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, dr Jumriani Junus menyebutkan, untuk penyakit Schisto hanya terdapat di dua kabupaten wilayah Sulawesi Tengah yakni Sigi dan Poso.
”Itupun hanya ada di wilayah Lembah Napu dan Bada untuk kabupaten Poso dan Sigi berada di sekitaran wilayah Lindu. Penyebaran penyakit Schistosomiasis hanya ada di 28 desa yang terbagi 23 desa di Kabupaten Poso dan 5 desa di Kabupaten Sigi,” jelas Jumriani, Jumat (27/01/2023).
Lebih lanjut, saat ini Sulteng memiliki roadmap eliminasi penyakit Schisto hingga 2030, walaupun sebenarnya roadmap tersebut direncanakan rampung pada 2025 mendatang.
Namun akibat Pandemi Covid selama dua tahun sehingga terjadi perubahan roadmap.
”Karena Pandemi Covid dua tahun belakangan, menyebabkan angka prevalensi Schisto mengalami peningkatan,yang seharusnya hanya kurang dari satu namun kini meningkat sekitar kurang lebih 1,57 persen,” terangnya.
Pokok permasalahan penyakit Schisto sebenarnya terletak pada keong nya, yang mana jika ada warga positif Schisto diberikan obat bisa sembuh.
Selain itu, salah satu penyebab masyarakat terjangkit schisto untuk dua Kabupaten tersebut adalah pola masyarakat yang bekerja di ladang tidak menggunakan APD. Walaupun Dinkes Sulteng pernah membagikan APD pada masyarakat sekitar namun karena faktor kenyamanan saat bertani tidak digunakan.
“Titik lokus masyarakat terkena Schistosomiasis banyak terjadi di ladang, area persawahan dan perkebunan masyarakat. Selain itu, tikus dan hewan ternak menjadi penyebab lain meningkatnya kasus Schistosomiasis,” katanya.
Jumriani menambahkan penyakit Schisto tentunya harus ada kerjasama lintas sektor yang harus berkolaborasi jika ingin berhasil dalam penanganannya, karena di Indonesia hanya Sulteng yang menjadi fokus penyebaran penyakit Schisto.
Khusus penanganan eliminasi penyakit Schisto di dua kabupaten, tim Dinkes Provinsi Sulawesi Tengah telah dipanggil pihak WHO untuk kembali mematangkan Roadmap baru yang ditargetkan pada tahun 2030.