Keluarga Berharap Putusan Maksimal Bagi Pelaku Penembakan Ervaldi

Sidang - Bripka Hendra terdakwa penembakan Ervaldi pada kasus demonstrasi di Desa Katulistiwa, Parigi Moutong 13 Februari 2022, sedang menjalani sidang di PN Parimo. Vonis kasu ini akan berlangsung besok di PN Parimo. (foto: Ophie - Parigi)

Diksi.net, Palu – Kasus penembakan Ervaldi oleh oknum Anggota Polres Parimo pada aksi demonstrasi di Desa Katulistiwa, Parigi Moutong 12 Februari 2022, kini memasuki tahap akhir. 

Rencana sidang pembacaan putusan hakim akan digelar pada (3/3/2023), di Pengadilan Negeri Parigi. Pada sidang Jumat, 24 Februari 2023, lalu, Hakim PN Parimo menuntut terdakwa Bripka Hendra 10 tahun penjara. 

Terdakwa menurut Hakim terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan, sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 338 KUHP sesuai dakwaan kesatu.

Menanggapi tuntutan 10 tahun tersebut, Rosmawati ibunda korban mengaku sangat bersyukur atas tuntutan tersebut. Menurut Rosmawati putusan tersebut menandakan ada keadilan bagi anaknya. Ia pun berharap Hakim memvonis sesuai tuntutan tersebut. 

Ayah korban, Erwin Lahadado menyebut, yang penting pelaku itu sudah dihukum. Sudah dipenjara, itu berarti dia sudah mempertanggungjawabkan perbuatannya, Itu saja harapan kami supaya ada keadilan.

BACA JUGA :  Menuju Zero Stunting Melalui Pengolahan Susu Sapi Murni di Kabupaten Enrekang

Menanggapi tuntutan penjara 10 tahun tersebut, Sekretaris Jenderal SKP HAM Sulawesi Tengah, Nurlaela Lamasitudju, menyebut kasus penembakan Ervaldi (alm) akhirnya menemui titik terang, setelah ada tuntutan Jaksa 10 tahun penjara. 

”Kami sangat berharap hakim akan memberi keputusan maksimal bagi pelaku bripka Hendra atas kematian korban,” tutur Nurlaela. 

Nurlaela juga menyebut, Hakim harus mempertimbangkan permohonan restitusi dari keluarga korban. 

Putu Ardika Yana psikokolog yang mendampingi keluarga korban, mengatakan, pada umumnya keluarga sudah berupaya untuk menerima kepergian Ervaldi, tapi itu tidak mudah bagi keluarga. Selama ini pendampingan psikologis terus diupayakan untuk mencegah terjadinya gangguan mental yang serius. 

“Ayah kandung korban Erwin Lahadado, salah satu anggota keluarga yang merasakan tekanan, hingga melamun/pikiran yang kosong, perasaan duka yang mendalam sehingga terus terbawa suasana sedih, kehilangan motivasi dan minat untuk aktivitas sosial hingga sering menangis tanpa disadari,” ujar Putu. 

BACA JUGA :  DTPH Sulteng ditugaskan Atasi Kemiskinan Melalui Peningkatan Produksi Petani

Hal ini membuat kondisi fisik Erwin terus menurun sehingga sempat beberapa kali pingsan dan sakit di tulang – sendi dan ginjal. 

Hasil pemeriksaan terakhir menunjukan ada gejala gangguan fisik yang perlu diobati serius yang diakibatkan oleh kondisi mental. 

Erwin kemudian didiagnosa dokter dengan gangguan depresi sedang dan somatisasi. Hal ini menunjukan betapa kedukaan telah membuat Erwin mengalami gangguan mental dan fisik serius.

Ardika Yana menyebut, upaya pendampingan psikologis terus dilakukan agar gangguan mental tidak semakin parah. Oleh karena itu LPSK memperpanjang bantuan rehabilitasi psikologis kepada korban. Namun sayangnya LPSK tidak dapat menanggung biaya transport dan pengobatan ke dokter penyakit dalam di Rumah Sakit Anutaloko Parigi padahal Erwin harus terus konsumsi obat dari dokter penyakit dalam. Negara menurut Ardika Yana harus hadir memberikan restitusi sekaitan dengan jaminan kesehatan terhadap Erwin. 

BACA JUGA :  Seorang Pemanah Ikan di Evakuasi Akibat Terkena Sengatan Ikan Pari

Selanjutnya SKP HAM dan keluarga korban, mengaku menghargai kerja JPU sampai pada tahap tuntutan ini. Dan berharap pada hakim agar mempertimbangan permohonan restitusi sebagaimana yg telah disampaikan keluarga korban kepada LPSK dan telah diserahkan kepada majelis hakim, restitusi sangat penting mengingat dampak psikologis yang menimpa keluarga korban. 

Menurut Nurlaela  SKP HAM Sulteng  juga terus mendampingi keluarga korban hingga ke persidangan pembacaan putusan hakim besok. Tin SKP HAM akan hadir secara offline dan online.

Sejak kasus ini bergulir, SKP HAM, LPSK dan AJI Palu telah melakukan pendampingan pada keluarga korban – hingga pembacaan vonis.