Diksi.net, Jakarta – Memasuki 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada 28 Januari 2025, komitmen Indonesia untuk mempercepat transisi energi dan mencapai nol emisi lebih cepat dari target 2060 masih menghadapi tantangan besar.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai bahwa meskipun ambisi pemerintah terlihat dalam berbagai pernyataan di forum internasional, langkah nyata untuk mewujudkan kemandirian energi berbasis terbarukan masih kurang konkret.
Dalam pidatonya di APEC CEO Summit dan KTT G20 di Brasil, Presiden Prabowo menegaskan bahwa Indonesia akan mencapai target net zero sebelum 2050. Strategi yang disampaikan termasuk penghentian PLTU batubara dalam 15 tahun, peralihan ke 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun, dan swasembada listrik. Namun, menurut IESR, hingga kini belum ada arahan khusus terkait percepatan bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025, yang dinilai menjadi momen penting transisi energi Indonesia.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengungkapkan perlunya langkah-langkah taktis untuk mempercepat pembangunan 9 GW kapasitas energi terbarukan pada tahun ini.
“Keputusan strategis harus dibuat sekarang untuk memastikan transisi energi berjalan sesuai target, mengingat proses ini membutuhkan waktu panjang,” ujar Fabby.
Meski Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024 telah diterbitkan, dokumen tersebut masih mempertahankan target net zero pada 2060, bukan 2050, seperti yang disampaikan Presiden di forum internasional. Selain itu, RUKN juga masih memuat rencana pembangunan PLTU hingga 2035, yang bertentangan dengan ambisi menghentikan operasi PLTU pada 2040.
IESR menyoroti perlunya penghentian pembangunan PLTU baru, termasuk PLTU captive, serta mengevaluasi teknologi CCS/CCUS yang belum terbukti efektif dalam menurunkan emisi. Sebaliknya, penggunaan energi terbarukan dinilai lebih ekonomis, bersih, dan pasti mengurangi emisi.
IESR juga mencatat bahwa pemerintah mengalokasikan Rp386,9 triliun untuk subsidi energi fosil pada 2024, yang sebagian besar digunakan untuk BBM, LPG, dan listrik yang masih didominasi oleh energi fosil. Subsidi ini tidak hanya menghambat keekonomian energi terbarukan, tetapi juga meningkatkan biaya kesehatan akibat polusi, yang mencapai Rp1,2 triliun di Jakarta pada 2023.
Sebagai alternatif, IESR merekomendasikan pungutan 2,5-5 persen dari nilai ekspor batubara, yang diperkirakan dapat menghasilkan dana hingga USD 2,5 miliar per tahun. Dana tersebut dapat digunakan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan dan infrastruktur pendukungnya.
Pengembangan biodiesel sebagai bagian dari upaya kemandirian energi juga perlu dilakukan secara bijaksana. IESR memperingatkan potensi deforestasi akibat tingginya permintaan minyak sawit untuk bahan baku biodiesel. Oleh karena itu, diversifikasi bahan baku biodiesel dan sertifikasi keberlanjutan, seperti ISPO, menjadi hal krusial untuk memastikan program ini tidak merusak lingkungan atau mengganggu hak-hak masyarakat lokal.
“Produksi biodiesel harus memenuhi kriteria keberlanjutan, dengan jejak karbon rendah dan tidak membebani anggaran negara,” tambah Fabby.
Fabby juga menekankan pentingnya penyediaan listrik rendah karbon untuk meningkatkan daya saing dan menarik investasi global. “Negara yang mampu menyediakan listrik bersih dan rendah karbon akan lebih menarik bagi investor,” ujarnya.
IESR mendesak agar dalam periode 100 hari ini, pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk menyeimbangkan komitmen internasional dengan kebijakan domestik yang mendukung transisi energi berkelanjutan. Dengan langkah ini, Indonesia dapat meraih ketahanan energi, pengurangan emisi, dan keberlanjutan ekonomi yang selaras dengan Asta Cita.