Diksi.net, Palu – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) RI melalui Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak menyusun bersama Rencana Aksi Daerah (RAD) pencegahan pernikahan anak.
Rencana tersebut diawali dengan diskusi tentang advokasi pencegahan dan penanganan pernikahan anak, yang dihadiri stakeholder dan organisasi kemasyarakatan yang konsentrasi terhadap isu perempuan dan perlindungan anak, media dan organisasi jurnalis termasuk forum anak.
Kemudian perwakilan masing-masing dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) dari kabupaten Donggala, Parigi Moutong, Sigi dan Kota Palu.
Kepala DP3A Sulteng, Subair berterima kasih atas terselenggaranya kegiatan ini. Menurutnya Sulteng diklaim punya kabupaten dengan tingkat perkawinan anak yang cukup tinggi. Misalnya di Kabupaten Buol.
“Saya berharap kita semua menjadi champion untuk advokasi pencegahan pernikahan anak di lingkungan masing-masing,” harapnya.
Ia menyarankan ke depan, kegiatan seperti ini juga bisa menghadirkan BPS untuk mendapatkan gambaran data tentang angka pernikahan dini.
Pada bagian lain, Subair menyebut pihaknya sejauh ini telah melaksanakan kegiatan terkait upaya pencegahan dan penanganan pernikahan dini melalui beberapa bidang teknis DP3A Sulteng.
“Ada kegiatan advokasi yang bekerja sama dengan Kemenag untuk edukasi ke masyarakat agar pernikahan anak bisa ditekan. Begitu juga kerjasama dengan kelembagaan adat untuk memberi denda. Karena pernikahan anak ini memang sangat rentan terjadi pada semua sisi kehidupan,” ungkapnya.
Sementara itu, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian P3A, Rohika Kurniadi Sari yang membuka kegiatan melalui zoom meeting, mengatakan, elemen yang hadir dan berkumpul dalam kegiatan tersebut sangat berarti untuk upaya menurunkan kasus pernikahan anak di Sulteng.
Ia menjelaskan, bahwa saat ini tercatat ada sebanyak 84 juta anak di Indonesia yang perlu diberi investasi pemberdayaan mengingat terbatasnya sumber daya alam untuk memenuhi hak dan perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Rohika menyebut pernikahan anak adalah bentuk perampasan hak. Dampaknya sangat parah bagi hidup perempuan. Mulai dari proses persalinan, nifas, terputus hak hingga memicu terjadinya kekerasan.
“Hal itu harus diputus mata rantainya. Karena masalah pernikahan anak ini butuh kolaborasi multi sektoral dengan semua pihak,” tuturnya.
Dia menjelaskan, angka pernikahan anak Sulteng berada diatas rata-rata nasional yakni 12,5 persen. Sedangkan angka rata-rata nasional hanya 9,23 persen.
Lantaran hal tersebut, seluruh stakeholder yang memiliki rencana aksi harus disesuaikan dan mengacu pada strategi nasional. Strategi nasional itu antara lain optimalisasi kapasitas anak dengan menggerakkan forum anak di daerah.
Lalu lingkungan pendukung. Mulai dari tingkat keluarga, masyarakat, tokoh masyarakat,tokoh agama serta insitusi pendidikan di sekolah. Selain itu, juga harus ditunjang dengan penguatan akses layanan untuk anak dan keluarga yang aktif melayani anak. Serta terkait regulasi dan kelembagaan.
“Sejauh ini ada daerah di Sulteng sudah punya RAD yang harus mendapatkan penguatan peraturan gubernur. Saya berharap kepala DP3A bisa mendorong ini secepatnya,” harap asisten deputi.